Negeri awan, akhir
Agustus 2017
Assalamu’alaikum...
Selamat malam, Pangeran Matahari.
Aku sudah pulang, setelah kemarin perjalanan menukar rindu. Terimakasih masih
bersedia menyambutku di kerajaan matahari sana dengan baik. Setelah puluhan
purnama berlalu siapa sangka kita bisa kembali bertemu. Bertukar sapa, melepas
senyum, bertutur kata.
Terimakasih, di depanmu aku
selalu bisa menjadi diriku sendiri. Di depanmu aku tak perlu takut menjadi apa
adanya aku. Aku tak perlu mematut diriku terlalu lama di depan cermin untuk
memastikan warna gincuku. Aku tak perlu berkali-kali resah untuk memastikan
letak jilbabku. Aku tak perlu cemas. Karena aku tahu, kau akan selalu bisa
menerima apa adanya aku. Tak banyak menuntut seperti mereka kebanyakan. Itulah mengapa
aku selalu nyaman berada di dekatmu. J
Sekali lagi, rupanya Allah
tunjukkan kuasa atas kita. Bahwa saat dia berkehendak hanya tinggal “Kun Fa
Yakun” saja. Kau tahu, kemarin dulu aku sempat ragu. Bagaimana bisa takdir akan
kembali mempertemukan kita jika sebagai seorang hawa aku tak mungkin mengejarmu
ke sana. Bukankah sudah pernah kukatakan, PERCAYA kepadaNya itu mudah, tapi
MEMPERCAYAKAN kepadanya itu sulit. Dan aku nyaris tak lulus pelajaran satu itu.
Aku percaya setiap takdir kisah kita sudah tertulis di lauh mahfudz sana, tapi
mempercayakan jalan cerita itu padaNya ternyata tak pernah sederhana.
Tapi kali ini rupanya lagi-lagi
Allah menyadarkanku, bahwa apa-apa yang terlihat buruk belum tentu buruk bagi
kita, dan apa-apa yang kelihatan baik belum pasti akan baik bagi kita. Biar aku sedikit bercerita. Perjalanan
kemarin sebenarnya di luar rencana. Tidak kupungkiri, berkali-kali tercetus
pikiran untuk menjengukmu di kerajaan matahari sana. Tapi tidak. Bila kita
harus bertemu lagi biarkan itu terjadi dengan cara terhormat. Maka sebulan yang
lalu saat rasa sakit hatiku demikian membuncah pada seorang teman yang tidak
melibatkanku di hari bahagianya, aku putuskan untuk kabur ke sana. Kabur,
menghindari rasa sakitku karena berasa tak dianggap dan berharga di matanya. Ah,
lagi-lagi bukankah kita tak bisa memaksa setiap orang untuk menyukai kita
bukan? Maka biarkan aku singgah sementara di sana, bertemu kamu dan geng main
kita yang tak pernah memandang pertemanan dari fisik belaka. Kemudian tanpa aku
harus berbohong, Allah takdirkan aku dengan sebuah misi untuk benar-benar bisa
berkunjung ke sana.
Perjalanan kemarin adalah
perjalanan menukar rindu (atau memangkas rindu?). Perjalanan untuk memastikan
benarkah degup rasa ini masih milikmu. Memastikan
radar neptunus ini masih berlaku untukmu.Walau aku harus kembali pulang lagi-lagi
dengan membawa abu-abu. Setidaknya dengan begini aku jadi tahu, bahwa di sana
kau benar-benar sedang berjuang untuk sebuah pasti. Walau seperti biasa kau tak
pernah berani untuk memintaku untuk berjanji.
Lalu, bagaimana besok untuk kita.
Lagi-lagi kau tak berani memintaku untuk menunggu. Karena kamu sebenarnya sudah
teramat paham, bahwa aku yang tolol ini akan dengan senang hati melakukan itu sampai
batas waktu yang kau pun tak tahu. Dan aku mengerti, kau tak ingin membebaniku.
Mungkin sekali lagi kita harus kembali bersabar. Memasrahkan dengan
sepasrah-pasrahnya episode cerita kita padaNya. Walau untuk saat ini, rasanya sakit
membayangkan bukan kamu yang akan ada di sampingku nanti.
Nah, maka mari kita berjuang
lagi. Kau mengejar pasti, dan aku menata hati. Karena sekilas kemarin aku
belajar, lebih mudah bagiku menatanya saat tak bersamamu. Aku tak ingin
membantahNya, sungguh. Dan aku takut setan akan kembali membutakan aku lagi
seperti dahulu. Maka sekarang aku yakin, Allah inginkan kita selamat dengan
cara seperti ini. Kau di kerajaan matahari, dan aku biar tetap di negeri awan.
Biar hujan yang lagi-lagi menyapa kita, menyenandungkan rindu, dan memercikkan
syahdu. Aku akan baik-baik saja di sini, dan begitu pun kamu. Sampai suatu
ketika nanti, Allah akan pertemukan lagi kita dalam haru.