Minggu, 27 Agustus 2017

AKU, PERJALANAN, DAN KAMU

Negeri awan, akhir Agustus 2017


Assalamu’alaikum...
Selamat malam, Pangeran Matahari. Aku sudah pulang, setelah kemarin perjalanan menukar rindu. Terimakasih masih bersedia menyambutku di kerajaan matahari sana dengan baik. Setelah puluhan purnama berlalu siapa sangka kita bisa kembali bertemu. Bertukar sapa, melepas senyum, bertutur kata.

Terimakasih, di depanmu aku selalu bisa menjadi diriku sendiri. Di depanmu aku tak perlu takut menjadi apa adanya aku. Aku tak perlu mematut diriku terlalu lama di depan cermin untuk memastikan warna gincuku. Aku tak perlu berkali-kali resah untuk memastikan letak jilbabku. Aku tak perlu cemas. Karena aku tahu, kau akan selalu bisa menerima apa adanya aku. Tak banyak menuntut seperti mereka kebanyakan. Itulah mengapa aku selalu nyaman berada di dekatmu. J

Sekali lagi, rupanya Allah tunjukkan kuasa atas kita. Bahwa saat dia berkehendak hanya tinggal “Kun Fa Yakun” saja. Kau tahu, kemarin dulu aku sempat ragu. Bagaimana bisa takdir akan kembali mempertemukan kita jika sebagai seorang hawa aku tak mungkin mengejarmu ke sana. Bukankah sudah pernah kukatakan, PERCAYA kepadaNya itu mudah, tapi MEMPERCAYAKAN kepadanya itu sulit. Dan aku nyaris tak lulus pelajaran satu itu. Aku percaya setiap takdir kisah kita sudah tertulis di lauh mahfudz sana, tapi mempercayakan jalan cerita itu padaNya ternyata tak pernah sederhana.

Tapi kali ini rupanya lagi-lagi Allah menyadarkanku, bahwa apa-apa yang terlihat buruk belum tentu buruk bagi kita, dan apa-apa yang kelihatan baik belum pasti akan baik bagi kita.  Biar aku sedikit bercerita. Perjalanan kemarin sebenarnya di luar rencana. Tidak kupungkiri, berkali-kali tercetus pikiran untuk menjengukmu di kerajaan matahari sana. Tapi tidak. Bila kita harus bertemu lagi biarkan itu terjadi dengan cara terhormat. Maka sebulan yang lalu saat rasa sakit hatiku demikian membuncah pada seorang teman yang tidak melibatkanku di hari bahagianya, aku putuskan untuk kabur ke sana. Kabur, menghindari rasa sakitku karena berasa tak dianggap dan berharga di matanya. Ah, lagi-lagi bukankah kita tak bisa memaksa setiap orang untuk menyukai kita bukan? Maka biarkan aku singgah sementara di sana, bertemu kamu dan geng main kita yang tak pernah memandang pertemanan dari fisik belaka. Kemudian tanpa aku harus berbohong, Allah takdirkan aku dengan sebuah misi untuk benar-benar bisa berkunjung ke sana.

Perjalanan kemarin adalah perjalanan menukar rindu (atau memangkas rindu?). Perjalanan untuk memastikan benarkah degup rasa ini masih milikmu. Memastikan radar neptunus ini masih berlaku untukmu.Walau aku harus kembali pulang lagi-lagi dengan membawa abu-abu. Setidaknya dengan begini aku jadi tahu, bahwa di sana kau benar-benar sedang berjuang untuk sebuah pasti. Walau seperti biasa kau tak pernah berani untuk memintaku untuk berjanji.

Lalu, bagaimana besok untuk kita. Lagi-lagi kau tak berani memintaku untuk menunggu. Karena kamu sebenarnya sudah teramat paham, bahwa aku yang tolol ini akan dengan senang hati melakukan itu sampai batas waktu yang kau pun tak tahu. Dan aku mengerti, kau tak ingin membebaniku. Mungkin sekali lagi kita harus kembali bersabar. Memasrahkan dengan sepasrah-pasrahnya episode cerita kita padaNya. Walau untuk saat ini, rasanya sakit membayangkan bukan kamu yang akan ada di sampingku nanti.

Nah, maka mari kita berjuang lagi. Kau mengejar pasti, dan aku menata hati. Karena sekilas kemarin aku belajar, lebih mudah bagiku menatanya saat tak bersamamu. Aku tak ingin membantahNya, sungguh. Dan aku takut setan akan kembali membutakan aku lagi seperti dahulu. Maka sekarang aku yakin, Allah inginkan kita selamat dengan cara seperti ini. Kau di kerajaan matahari, dan aku biar tetap di negeri awan. Biar hujan yang lagi-lagi menyapa kita, menyenandungkan rindu, dan memercikkan syahdu. Aku akan baik-baik saja di sini, dan begitu pun kamu. Sampai suatu ketika nanti, Allah akan pertemukan lagi kita dalam haru. 




Selasa, 07 Maret 2017

CERITA BAPAK DAN SI EMPRIT KAJI


Hari itu sebuah pagi yang menyenangkan di akhir bulan Juni. Sinar matahari yang hangat menyapa setiap sudut yang ada. Bahkan aku pun tak luput darinya, kendati sudah menepi di bangku pojok selasar rumah sakit ini. Seolah matahari tak rela jika kuhabiskan pagi ini dengan hati yang dingin.  
Aku duduk meluruskan kakiku, menghela napas panjang kemudian menatap kembali taman kecil dihadapanku yang mulai riuh oleh burung kecil yang saling bercanda.
" Bosan? " Bapak yang duduk disampingku bertanya.
Aku hanya mengulum senyum kecil. Dua jam menunggu tentu bukan waktu yang singkat. Apalagi sesuatu yang kutunggu ini bukan suatu hal yang bisa dikatakan menyenangkan.
" Kau lihat nak burung-burung kecil itu? Ah, mengherankan ya, di kota ini mereka ternyata masih ada. Bapak kira hanya di desa saja. Mereka hebat bisa bertahan di antara hiruk pikuk kota"
Alih-alih berkomentar aku hanya mengangguk saja. Seperti kebiasaanku jika bapak sedang bercerita.
" Nah burung yang kepalanya putih itu namanya emprit kaji. Dulu ketika bapak kecil jumlah mereka masih banyak nak. Bapak biasa berburu sarang mereka bersama teman-teman. Luar biasa, ternyata sekarang bapak bisa melihatnya lagi justru disini "
Aku mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk bapak. Seekor burung kecil berkepala putih sedang asyik mematuki tanah. Dia memang berbeda sendiri di antara teman-temannya. Tapi dia tampak tak terganggu. Atau mungkin dia tak sadar bahwa dia berbeda? Tiba-tiba aku merasa tersentak. Ya, emprit kaji itu memang berbeda. Tapi pasti ada alasan kan kenapa Allah ciptakan dia berbeda?
Lalu bapak kembali bercerita, tentang masa kecilnya, tentang cita-citanya dulu, tentang silsilah keluarga, tentang kisah remajanya, tentang cerita waktu aku dan adik masih kecil dulu, tentang segalanya. Kali ini aku lebih memusatkan perhatian. Menyimak dengan sungguh - sungguh setiap erkataannya. Sesekali mengomentari dan tergelak demi mendengar hal jenaka (yang sebenarnya pernah kudengar sebelumnya). Menatap wajah bapak yang sangat bersemangat bercerita, sambil mengamati keriputnya yang semakin bertambah. Tentu saja bapak tak tahu saat itu aku sebenarnya sedang mengalihkan perhatian dan mati-matian menahan air mata yang ingin menetes sedari tadi.
Aku tahu bapak tak kalah risau. Aku tahu beliau juga cemas. Tapi demi aku, si anak perempuannya yang sedang galau menunggu hasil laboratorium patologi, beliau tidak boleh terlihat lemah. Bapak memang selalu begitu. Berusaha terlihat kuat di depan kami. Karena bapak memang harus seperti itu. Agar kami selalu punya kekuatan lebih untuk menjalani setiap masalah kami. Maka tiga bulan sebelumnya ketika dokter spesialis menyarankan aku harus menjalani pemeriksaan kanker, bapak hanya menatapku tajam dan berkata "Lakukanlah, selama bapak sanggup bapak akan antar kamu kemanapun kamu berobat".

Alhamdulillah pemeriksaan laboratorium menunjukan hasil negatif. Walau sesudah itu aku tetap harus menjalani operasi pengangkatan benjolan di leher, tapi aku bersyukur itu bukan kanker. Sampai sekarang jika kulihat emprit kaji hinggap di depan rumahku, maka yang teringat adalah obrolan sendu bersama bapak di selasar sebuah rumah sakit di kota sana. Suatu pagi ketika aku sempat dilanda haru dan menyangka itu adalah obrolan terakhirku bersama bapak. Alhamdulillah Allah masih meminjamiku kesempatan sampai hari ini. Ternyata dengan itu Allah memberikan aku sebuah pelajaran tentang berharganya setiap detik waktu yang aku miliki. Hingga aku bisa lebih menghargai setiap hal yang aku dapatkan hingga saat ini.  

Senin, 28 September 2015

KALAU INI BUKAN 'PERASAAN' INI

Kalau ini cinta anak SD, maka aku cukup menuliskan namanya pada tembok sekolah. Disertai gambar hati dipanah, tersanding namaku dan namanya. Beserta puluhan nama lain yang tertulis di sana. Tak peduli ketika namanya bahkan tertulis pada pasangan lainnya. Aduhai, cukuplah begitu.
Kalau ini cinta anak ingusan, maka cukup kutulis namanya dalam salah satu kertas undian berbentuk origami. Hap,hap,hap, origami empat kotak mirip mulut katak itu bergerak sampai lagu berhenti, lipatan dibuka, keluarlah namanya, berarti kami berjodoh katanya. Sungguh, girangnya hati tak terbayang.

Jika ini cinta anak SMP, maka cukuplah kutuliskan ratusan namanya dalam buku harian. Kutitipkan salam untuk ‘someone spesial’ pada salah satu siaran radio lokal, disertai lagu favoritnya, mengalunlah irama sendu dalam malam yang syahdu. Berharap perasaan itu sampai padanya yang jangan-jangan mendengar lagu itu pun tidak.
Jika ini cinta monyet, maka hanya lembar kertas ulangan yang dikoreksi olehnya bisa menjadi benda yang berharga luar biasa. Bola basket bekas sentuhan tangannya saja bisa membuat hati berdegup riang. Apalagi jika lirikannya tak sengaja tertangkap sudut mata, serasa berhenti sedetik detak jantung yang ada. Alamak, indahnya cinta si ‘monyet’ ini.

Kalau ini cinta anak SMA, maka berpuluh-puluh cerita tertuang pada sahabat setia. Bahkan sekedar berpapasan di kantin saja bisa menjadi headline news sepanjang minggu. Jangan ditanya seberapa muak sesungguhnya si sahabat setia. Sampai hapal di luar kepala setiap detail kisah yang sesungguhnya bukan miliknya.
Kalau ini cinta anak remaja, maka tak jadi masalah menguntitnya. Menunggu sepanjang istirahat di perpustakaan demi melihatnya membaca majalah bola. Atau sekedar mengintip biodatanya di daftar presensi kelas. Dan sungguh, bangga benar bisa tahu nama bapak ibunya. Semacam prestasi besar melebihi juara piala dunia.

Jika ini cinta anak kuliahan, maka akan sedikit lebih rumit ceritanya. Keluyuran di fakultasnya sudah tak jadi hal mengherankan, sesering aku sengaja melintas di depan tempat kosnya. Bukan rahasia lagi jika mencermati timelinenya jadi hobi baru yang amat mengasyikkan. Bahkan sengaja mengatur jadwal kuliah umum agar bisa sekelas dengannya pun pernah kulakukan. Hei, maka jangan heran jika bahkan nama panjang teman sekamarnya aku hapal di luar kepala. Apalagi cuma sekedar IPK atau rumah makan favoritnya.


Sayang ini bukan sekedar cinta monyet anak ingusan, atau cinta kepalang tanggung ala anak kuliahan. Perasaan ini (bahkan aku ragu menyebutnya sebagai ‘cinta’) ‘hanya’ sebuah perasaan dewasa. Ragu dan yakin dalam satu waktu, sama halnya dengan berharap dan melepaskan pada waktu yang lainnya.

Maka coba tebak apa yang kulakukan? Langsung kupencet satu nomor sambungan pribadi ke Tuhan. Mencoba bertanya, bilakah perasaan ini apa namanya? Dan seperti biasa, jawaban Tuhan tak selalu langsung bisa kuartikan. Sampai nanti kupahami jawabannya, biarlah ini jadi rahasia dulu saja. Ah, tak lucu jika sudah kukabarkan kesana kemari ternyata bukan namanya yang tercetak di undangan biru bersanding denganku. Maka biarlah seperti ini. Karena kau tahu, Kawan, tak ada yang benar-benar bisa memastikan akan berakhir macam apa perasaan ‘super dewasa’ seperti ini. Titipkan pada Maha Pemilik Skenarionya saja ya . . . Apapun itu, semoga berakhir indah. :)


Kamis, 04 Juni 2015

CINTA SEJATI ITU . . .

Cinta sejati itu kadangkala dekat dengan "takut". Saat kita cemas jika cinta itu ternyata membawa keburukan, tidak-pantas, tidak sebanding, belum waktunya. Kemudian membuat kita melakukan refleksi, memikirkan banyak hal, untuk kemudian berusaha menjadi lebih baik, agar cinta itu menjadi pantas.
Cinta sejati itu kadangkala dekat dengan "keraguan". Saat kita maju-mundur, penuh tanda-tanya, gelisah, dan ragu-ragu. Kemudian membuat kita terus memperbaiki diri, mencari pegangan yang lebih kokoh, keyakinan, agar berani mengambil keputusan.
Aduhai, cinta sejati itu kadangkala dekat dengan "pergi" hingga "melupakan". Menyibukkan diri, membunuh semua kerinduan, menjaga jarak, menghindar dan sebagainya, hingga pergi jauh dalam artian sebenarnya. Kemudian terjadilah hal menakjubkan, saat jarak menjadi layu, waktu menjadi tiada berarti. Semua kembali ke titik semula saat berjodoh.

#Tere Liye

#Ssstttt... Ya, saat ini aku sedang merasa "takut", "cemas", "harap", sekaligus "ragu". Hingga sedetik kemudian tanpa kusadari justru "pergi" yang kuputuskan.
Biarlah rahasia kita akan "bertemu" lagi atau tidak, mutlak menjadi rahasia Yang Maha Memiliki Cerita.. :)


Minggu, 24 Agustus 2014

CERITA SEMANGKUK INDOMIE




Ada cerita dalam semangkuk Indomie. Tentang aku, kamu dan suatu sore ketika senja tiba. Tentang kita dan sebuah rasa yang tertunda.
Semangkuk Indomie punya cerita, tentang canda hangat yang mengalir mengalahkan derasnya hujan di sekitar kita. Tentang senyum maklum yang selalu terkulum kala kau tunggu kuhabiskan mie dalam mangkukku.
Tentu saja ada cerita dalam semangkuk Indomie. Mungkin tentang kisah kita yang panjang seperti mie yang terlanjur lupa diremuk sebelum memasaknya. Atau tentang harapan-harapan yang terlalu lumer layaknya bumbu dalam mie yang kita nikmati bersama. Hmm.. barangkali termasuk rasa istimewa layaknya telur yang biasa kita pesan sebagai pelengkapnya. Bisa juga tentang kita yang umpama minyak dan air, tak bisa bersatu namun bisa berdampingan dalam semangkuk mie yang lezat. Ah, kalau yang terakhir itu sepertinya memang tagline dari iklan Indomie yang selalu aku tonton dalam televisi.
Ah, cerita kita memang sesederhana itu. Semangkuk Indomie yang selalu bisa dipesan saat sore ketika hujan tiba. Tak perlu pasta, steak, muffin, cappuccino, latte. Cukup semangkuk Indomie dengan teh hangat yang menemaninya. Sungguh, itu saja sudah cukup untuk menghadirkan kau dan senyum menenangkanmu. Semangkuk Indomie selalu bisa membuatku berterimakasih, atas kesempatan untuk saling mengenal, atas kisah yang pernah tertulis. Dan sekarang hanya bisa berharap, suatu saat nanti, dapat ku nikmati lagi,  semangkuk Indomie dari satu mangkuk untuk kita berdua..

Sabtu, 10 Mei 2014

Membenci(kenangan bersama)mu

Kau tahu kenapa aku benci kenangan?
Karena kenangan selalu memaksaku untuk mencukil dengan paksa sebuah cerita yang mestinya tertinggal di belakang sana.
Aku benci menghabiskan setiap detik waktu yang pernah kulalui bersamamu.
Karena dengan demikian sungguh terasa bedanya ketika semua telah berlalu.
Usai.
Tinggal hampa yang tersisa.
Sedikit hatiku rasanya mencelos, mengingat tak akan ada lagi kamu di waktu-waktuku lusa nanti.
Aku benci mengukir kenangan bersamamu.
Aku benci terbangun dengan kesadaran bahwa tak ada lagi engkau dan cerita-cerita tentang kita.
Kenapa waktu itu tak ku abaikan saja engkau?
Kenapa tak ku cegah saja setiap kisah yang akan terjadi?
Biar tak kurasa lengangnya jalanku tanpa kamu.
Biar tak usah ku tersayat oleh kenangan yang nyata-nyata membayangiku itu.
Aku benci mengakuinya.
Aku benci harus mengakui bahwa aku (sedikit) kehilanganmu...




#Merindukanmu teman.... 
Sangat...

Selasa, 25 Februari 2014

SEBUAH MIMPI



Aku bermimpi...
Dalam mimpiku aku berada di suatu tempat yang teramat tentram
Dengan rumah yang tak terlalu besar dan nyaman
Dengan orang-orang yang begitu menyayangi dan kusayang
Yang kujaga dengan segenap kehormatan dan harga diriku

Aku bermimpi...
Dalam mimpiku aku adalah sesosok wanita yang anggun dan bersahaja
Dia yang tak pernah kehilangan senyum tulusnya
Yang mempesona dengan segenap kesederhanaannya
Yang teduh dengan mata lembut dan tutur halusnya


Aku bermimpi...
Dalam mimpiku aku begitu bahagia di tengah senyum sejuta nara
Tertawa lepas bersama mentari-mentari muda harapan bangsa
Membelai halus mereka dengan segenap kasih sayang dengan keikhlasan semata
Membentangkan seluas mungkin pemahaman baik tanpa cela

Ya, aku sedang bermimpi,
Tentang sekian banyak impian yang ingin ku tuju
Tentang sebuah impian sederhana yang tak ku ragu
Tentang sebuah cerita indah yang ku tunggu
Dan demi semua mimpi itu
Akan kulalui dengan pasti setiap jalanku
Dalam setiap helaian napas di setiap ikhtiarku
Demi sempurnakan takdir yang telah ditetapkan Sang Penciptaku

Ah, andai semua itu hanya akan menjadi sekedar mimpi
Tak apa, setidaknya aku sudah mencoba berlari
Sungguh, tak akan ada sesal diri
Karena toh Dia Yang Maha Mengetahui yang terbaik untuk diri ini

Bismillahi tawakkaltu’alallah...
(Semarang, 25 Februari 2014, untuk setiap mimpi-mimpi yang ada saat ini...)